BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan
tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh
dengan cara ini
merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang
doktor, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu
dan lain-lainnya. Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang untuk pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun
kedua- duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.[1] Wajibkah kedua macam penghasilan yang berkembang sekarang itu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak? Bila wajib, berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana tinjauan fikih Islam tentang masalah itu?.
Dari pernyataan
tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang permasalahan
ini, sehingga penulis mengambil judul “Pandangan Fiqih Terhadap Zakat
Penghasilan dan Profesi”
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan fiqih dan para ulama pada zaman dulu
tentang zakat penghasilan dan profesi?
2. Bagaimana nisab zakat tersebut dan cara menetapkannya?
3. Berapa besar zakat
yang harus dikeluarkan?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulis tertarik
mengadakan penelitian dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui
bagaimana pandangan fiqih dan para ulama pada zaman dulu tentang zakat penghasilan dan profesi.
2. Untuk mengetahui nisab zakat tersebut dan cara menetapkannya.
3. Untuk mengetahui besar
zakat yang harus dikeluarkan.
D.
Definisi Operasional
Untuk mempermudah dalam penelitian ini, maka penulis akan
mengemukakan beberapa definisi operasional, sebagai
berikut:
1.
Ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama
Islam.
2.
Fiqih adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk ibadah maupun
muamalah.
3.
Zakat adalah harta yang wajib
disisihkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang muslim
sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Zakat Penghasilan
dan Profesi
1.
Pengertian
Zakat menurut bahasa artinya suci dan subur. Sedangkan menurut
istilah syara’ adalah mengeluarkan sebagian harta
benda atas perintah Allah, sebagai shadaqah wajib kepada mereka yang telah
ditentukan oleh hukum Islam. Secara harfiah zakat berarti tumbuh, berkembang, menyucikan,
atau membersihkan. Sedangkan secara terminologi, zakat merujuk pada aktivitas
memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk
orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan.[2]
Secara umum zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha
yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang), relatif banyak dengan cara
yang halal dan mudah, baik melalui keahlian tertentu maupun tidak. Sedangkan
menurut Zamzami Ahmad, zakat profesi adalah zakat penghasilan yang didapati dan
diterima dengan jalan yang halal dalam bentuk upah, honor ataupun gaji.[3]
2.
Orang-orang yang berhak
menerima zakat
-
Fakir yaitu
orang yaang tidak mempunyai harta atau usaha yang dapat menjamin 50% kebutuhan
hidupnya untuk sehari-hari.
-
Miskin yaitu
orang yang mempunyai harta dan usaha yang dapat menghasilkan lebih dari 50% untuk kebutuhan hidupnya tetapi tidak
mencukupi.
-
’Amil yaitu
panitia zakat yang dapat dipercayakan untuk mengumpulkan dan membagi-bagikannya kepada yang
berhak menerimanya sesuai dengan hukum Islam.
-
Muallaf yaitu
orang yang baru masuk Islam dan belum kuat imannya dan jiwanya perlu dibina
agar bertambah kuat imannya supaya dapat meneruskan imannya.
-
Hamba sahaya
yaitu yang mempunyai perjanjian akan dimerdekakan oleh tuan nya dengan jalan
menebus dirinya.
-
Gharimin yaitu
orang yang berhutang untuksesuatu kepentingan yanng
bukan maksiat dan ia tidak sanggup untuk melunasinya
-
Sabilillah
yaitu orang yang berjuang dengan suka rela untuk menegakkan agama Allah .
-
Musafir yaitu
orang yang kekurangan perbekalan dalam perjalanan dengan maksud baik, seperti
menuntut ilmu, menyiarkan agama dan sebagainya.
B.
Pendapat Ulama Fiqih
Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan
Muhammad bahwa nisab zakat tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengahnya. Dari penafsiran tersebut dapat kita
simpulkan bahwa wajib mengeluarkan zakat atas hasil
penghasilan itu setiap tahunnya. Berdasarkan hal itu, kita dapat menetapkan
hasil penghasilan sebagai sumber zakat karena terdapatnya illat (penyebab) yang
menurut ulama-ulama fiqih sah dan nisab yang merupakan landasan wajib zakat.
Dan karena Islam mempunyai ukuran dalam mengeluarkan
zakat bagi seorang yang dianggap kaya yaitu sebesar 12 junaih emas menurut ukuran junaih Mesir lama. Sehingga ukuran itu harus terpenuhi untuk seseorang dikategorikan berkewajiban membayar zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya
yang wajib zakat
dan orang miskin penerima zakat.
Dalam hal ini, Mazhab Hanafi mengatakan bahwa jumlah nisab zakat itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun.
Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong
kaya dan siapa yang tergolong miskin, karena
seorang pekerja profesi jarang memenuhi kewajiban ketentuan zakat tersebut. Mengenai besar zakat, menurut Mazhab Hanafi bahwa penghasilan dan profesi belum ditemukan contohnya dalam
fiqih.
Menurut Akhmad, masalah
nisab zakat tergantung hasil uang yang kita peroleh, misalnya Ani menyewakan rumahnya kepada orang lain sehingga
dia mendapatkan
uang sewa dan uang sewa yang diterima tersebut sudah cukup nisab. Maka Ani tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika
menerima uang tersebut tanpa menunggu waktu setahun untuk mengeluarkan zakat. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah
mencapai satu nisab.
Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa
jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di
pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir
tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.[4]
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Satria Effendi, Ushul
Fiqh. Jakarta, Prenada Media, 2005.
Suyitno, Heri Junaidi, Anatomi Fiqh Zakat. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2005.
Artikel: