Jumat, 04 April 2014

SEJARAH TERBENTUKNYA MAHKAMAH KONSTITUSI



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Konstitusi didefinisikan sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum kehidupan secara umum yang dikerjakan oleh para budak yang berada di luar batas kewarganegaraan.[1] Sedangkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu suatu lembaga tertinggi negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Dan Indonesia merupakan negara yang ke tujuh puluh delapan yang memiliki lembaga pengadilan konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materiil sebuah undang-undang. Sehingga dalam hal undang-undang Mahkamah Konstitusilah yang memiliki wewenang penuh dalam menguji undang-undang tersebut. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki wewenang dalam membubarkan partai politik, memutuskan sengketa hasil pemilu dan pemecatan presiden dan wakil presiden apabila melakukan pelanggaran hukum.
Sehingga dari paparan latar belakang di atas, penulis tertarik untk menggali lebih dalam mengenai Mahkamah Konstitusi ini, baik itu mengenai sejarah terbentuknya, wewenangnya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Untuk lebih detail lagi mengenai Mahkamah Konstitusi ini akan dipaparkan dalam bab selanjutnya.


B.       Rumusan Masalah
  1. Bagaimana sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut?
  2. Apa saja wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK)?
  3. Apa saja kasus-kasus yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikannya?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
  1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.
  2. Untuk mengetahui apa saja wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
  3. Untuk mengetahui apa saja kasus-kasus yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikannya.







BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Terbentuk Mahkamah Konstitusi (MK)
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.[2]

B.       Kewenangan Yang Di Miliki Mahkamah Konstitusi
Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang telah ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu:[3]
  1. Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD.
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
  3. Memutuskan pembubaran partai politik.
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  5. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden menurut UUD.
Dengan demikian ada empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional bagi Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tinggal pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Artinya, tidak ada upaya hukum lain atas putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang terjadi pada pengadilan lain.
C.      Kasus-Kasus Yang Menjadi Kewenangan Mahkamah Konstitusi
  1. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
            Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu pertama, pasangan calon presiden/wakil presiden, kedua, partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan ketiga, (perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.
            Yang menjadi persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang telah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak. Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres.[4]
  1. Pembubaran Partai Politik
            Kebebeasan Partai politik dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain yang kebetulan memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat pula dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.


  1. Penuntutan Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden
            Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum  berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan tercela atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Pesiden.
Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
            Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada di tangan MPR.
Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon, yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab.
  1. Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA
            Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusionalitas UU.
Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.
Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury versus Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803. Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara luas didiskusikan dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi sehingga ‘the fouding fathers’ Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Akan tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa UUD Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut ajaran ‘trias politica’ Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945.
Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan 4 kali, paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas, maka sekarang setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat.
Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Perubahan Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR, maka mau tidak mau kita harus memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan ‘checks and balances’ antara satu sama lain. Oleh karena itu, semua argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.
           
D.      Susunan Organisasi Dalam Mahkamah Konstitusi
            Organisasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terdiri atas tiga komponen yaitu:
  1. Para hakim
Para hakim konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan) orang sarjana hukum yang mempunyai kualifikasi negarawan yang menguasai konstitusi ditambah dengan syarat-syarat kualitatif lainnya dengan masa pengabdian untuk lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode lima tahun berikut. Dari antara para hakim itu dipilih dari dan oleh mereka sendiri seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing untuk masa jabatan 3 tahun. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas kinerjanya, kesembilan hakim itu ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda, yaitu 3 orang sipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Setelah terpilih, kesembilan orang tersebut ditetapkan sebagai hakim konstitusi dengan Keputusan Presiden. Mekanisme rekruitmen yang demikian itu dimaksudkan untuk menjamin agar kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu benar-benar tidak terikat hanya kepada salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun MA. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi diharapkan benar-benar dapat bersifat independen dan imparsial.
            Kesembilan orang hakim itu bahkan dapat dipandang sebagai sembilan institusi yang berdiri sendiri secara otonom mencerminkan 9 pilar atau 9 pintu kebenaran dan keadilan. Dalam bekerja, kesembilan orang itu bahkan diharapkan dapat mencerminkan atau mewakili ragam pandangan masyarakat luas akan rasa keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9 aliran pemikiran tentang keadilan, maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah mencerminkan kesembilan aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran konstitusional justru terletak dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan kepentingan untuk mencapai putusan akhir yang akan dijatukah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus dihadiri 9 orang dengan pengecualian jika ada yang berhalangan, maka jumlah hakim yang bersidang dipersyaratkan sekurang-kurangnya 7 orang. Karena itu pula, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengenal satu majelis hakim, tidak seperti di Mahkamah Agung.
b.      Sekretariat jenderal.
Sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang menurut ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU ini menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan. Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif.



  1. Kepaniteraan.
Kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial. Pembedaan dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar administrasi peradilan atau administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak tercampur aduk dengan administrasi non justisial yang menjadi tanggungjawab sekretariat jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun kepaniteraan masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti memang merupakan jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai mata anggaran tersendiri dalam APBN.

E.       Mahkamah Konstitusi Penjaga Demokrasi Konstitusional
Demokrasi Indonesia yang akan ditata ialah demokrasi yang dibingkai dengan norma-norma kostitusi yang terdapat daalm UUD 1945. Demokrasi Indonesia tidak identik dengan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) dan juga demokrasi Indonesia tidak sinonim dengan suara mayoritas adalah suatu kebenaran. Ukuran kebenaran dalam demokrasi Indonesia adalah norma hukum konstitusi. Oleh karena itu agar derap demokrasi dapat berupa sesuai sumbu kostitusi, maka demokrasi itu harus dijaga. Di sinilah posisi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi harus senantiasa menjaga demokrasi sebagai pelaksana dari norma kostitusi.[5]
Pelaksanaan demokrasi konstitusi terlihat dalam perwujudan antara lain:
1.      Pelaksanaan pemilihan umum (pemilihan umum DPR, DPD, DPRD, Presiden, Wakil Presiden dan Kepala Pemerintahan Daerah).
2.      Pelaksanaan norma-norma konstitusi dalam bentuk undang-undang (UU).
3.      Pelaksanaan kewenangan lembaga Negara.
Dalam penyelengaraan pemilihan umum akan muncul sengketa hasil perhitungan perolehan suara dalam pelaksanaan norma undang-undang muncul pengujian undang-undang terhadap UUD dan dalam pelaksanaan kewenangan dapat muncul sengketa kewenangan antar lembaga negara. Norma undang-undang yang telah disahkan oleh DPR dan Presiden secara demokratis apabila ternyata prosedur pembentukannya atau substansi norma tersebut bertentangan dengan konstitusi, maka oleh Mahkamah Konstitusi norma undang-undang tersebut dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, alias dibatalkan. Jadi, dalam demokrasi tidak dibenarkan muncul kesepakatan yang bertentangan dengan konstitusi.[6]
Demikian halnya sebuah kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga Negara tidak boleh digunakan seenaknya, sebab jika kewenangan tersebut menabrak rambu konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi berwenang mencabutnya, tentu saja setelah melalui proses persidangan Mahkamah Konstitusi. Pemilihan umum sebagai perwujudan system demokrasi konstitusional dalam praktiknya sering kali menimnulkan perselisihan hasil perhitungan pemilu antara KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum dengan peserta pemilu. Apabila terjadi perselisihan demikian, maka Mahkamah Konstitusilah yang akan memutus perhitungan yang benar.[7]
Selain itu Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan membubarkan partai politik atas permohonan pemerintah, serta Mahkamah Konstitusi wajib memutuskan pendapat DPR yang menganggap presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden (Pasal 7A UUD 1945).[8]












BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang telah ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan memberhentikan presiden dan wakil presiden apabila melanggar hukum.

B.       Saran
Negara Indonesia merupakan negara yang demokrasi, sepatutnya kita sebagai warga negara Indonesia harus benar-benar menjunjung tinggi nilai demokrasi. Seperti halnya dalam pemilihan Pemilu presiden dan wakil presiden, harus dilakukan dengan jujur tanpa adanya niat iming-iming atau suap yang dapat merusak nilai citra negara.
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Kedudukan Mahkamah Konstitusi, http://www.jimly.com/makalah/namafile/23/KEDUDUKAN_MK.doc diakses Senin, tanggal 23 Desember 2013.
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: tt, 1983.
Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Bandung: Nusa Media, 2011.
Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Cetakan I, Jakarta: Kencana, 2011.



[1] C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, (Bandung: Nusa Media, 2011), h 24
[2] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1 diakses Minggu, tanggal 22 Desember 2013 jam 16:00 Wita.
[3]  Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Cetakan I, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 111
[4] Jimly Asshiddiqie , Kedudukan Mahkamah Konstitusi, http://www.jimly.com/makalah/namafile/23/KEDUDUKAN_MK.doc diakses Senin, tanggal 23 Desember 2013, jam 19:00 Wita.
[5] Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: tt, 1983), h. 50
[6]  Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, op.cit., h. 176
[7] ibid
[8] Ibid, h. 177

Tidak ada komentar:

Posting Komentar